COMPANY CASE: STARBUCKS (JUST WHO IS THE STARBUCKS
CUSTOMER?)
1.
Starbuck’s initial market segmentation:
·
Wealthier, better educated, and more professional than the average
American.
·
More likely female than male.
·
Predominately Caucasian
·
Ages: 24 – 44 years old
2. Customer berubah terlebih dahulu. Hal ini disebabkan karena Starbucks
menerapkan strategi yang kurang tepat sehingga menarik segmen pasar yang kurang
tepat (less affluent, less educated, and less professional. Bagi segmen pasar
ini perceive value Starbucks menjadi ‘good coffee on
the run’ dimana aspek kecepatan pelayanan menjadi aspek yang dianggap lebih
penting daripada aspek ‘homey / third place’ yang menjadi ciri khas Starbucks.
3.
Starbuck’s new market segmentation:
a.
Segmen 1 à
Starbuck’s coffee
Kalangan
professional yang menyukai konsep ‘third place’ yang diusung Starbucks
b.
Segmen 2 à
Via Premium Instant Coffee (tersedia di Starbucks dan grocery store)
Orang-orang yang
menginginkan kopi kualitas premium namun tidak memiliki akses untuk membeli di
toko maupun menyeduh kopinya sendiri.
c.
Segmen 3 à
Starbucks Natural Fusions (tersedia di grocery store)
Orang-orang yang
suka menyeduh dan mengkreasikan sendiri kopi yang mereka konsumsi di rumah.
d.
Segmen 4 à
Seattle’s Best Coffee (tersedia di vending machine, coffee carts, fast-food
restaurant, convenience store, bioskop)
Orang-orang yang
tidak biasanya berkunjung ke Starbucks yang berasal dari kalangan low-end.
4.
I think it will. Karena Starbucks
telah melakukan strategi untuk mengembalikan image yang menjadi ciri khasnya (premium place to hangout) dan kembali
menarik regular customernya yang kerap berkunjung dan menjadi sumber profit
terbesar bagi perusahaan. Selain itu demi meningkatkan profit perusahaan,
Starbucks meluncurkan tiga produk baru yang masing-masing ditujukan untuk
segmen pasar yang berbeda. Sehingga dengan demikian Starbucks dapat terus
meraih pendapatan dari profitable customernya sekaligus berkompetisi dengan
perusahaan lain di segmen dan level yang berbeda.
COMPANY CASE: LAS VEGAS (WHAT’S NOT HAPPENING IN VEGAS)
1. Menurut saya perubahan strategi
branding yang diterapkan Las Vegas sempat mengalami perubahan image yakni
ketika LVCVA memfokuskan strategi brandingnya untuk menjadi destinasi wisata
yang ‘affordable’ dan ‘well-deserved’. Pada saat itu LVCVA merasa bahwa untuk
menggaet pelanggan di tengah keterpurukan ekonomi Amerika ketika itu, LVSVA
harus mampu membujuk pelanggannya untuk mau mengeluarkan pengeluaran lebih di
tengah keterpurukan ekonomi.
2. Core
benefit: adult freedom
Actual
product: fasilitas mewah, kasino berstandar internasional, acara hiburan yang
menarik, hotel dan resorts bintang lima, fine dining, restoran ternama.
Augmented
product: layanan extra hotel dan kasino, extra gifts atau bonus, layanan purna
jual, dsb.
3. Menurut
saya apabila LVCVA mampu mempertahankan brand image mereka yaitu “what happens
here, stay here” dengan pemilihan marketing mix yang sesuai maka Las Vegas
dapat terus menarik wisatawan untuk datang ke kotanya. Sebab image itulah yang
telah melekat di pikiran orang-orang terhadap Las Vegas.
4. Rekomendasi saya adalah untuk LVCVA
untuk tetap mempertahankan brand imagenya dengan penerapan variasi marketing
mix yang disesuaikan dengan target pasar yang dituju. Selain itu apabila LVCVA
ingin mengembangkan produk baru maka LVCVA dapat menerapkan produk baru yang
dibuat khusus untuk target konsumen yang sama sekali baru sehingga memperluas
segmen pasar yang dapat dijangkau oleh LVCVA. Selain itu saya rasa LVCVA harus
mampu mengikuti perkembangan teknologi dan menggunakan perkembangan teknologi
masa kini untuk kepentingan marketing, misal marketing melalui social media,
memanfaatkan influencer, pembuatan
website tourism yang menarik, dan sebagainya.
COMPANY CASE: SAMSUNG
(FROM GALLOP TO RUN)
1. Menggunakan strategi manajemen yang
baru, yaitu dengan mengembangakan inovasi produk-produknya. Hal tersebut
dilakukan dengan merekrut desainer-desainer baru yang berusia muda dan
dilibatkan langsung dalam pembuatan desain produk yang sleek, bold, dan ditargetkan
untuk kalangan high-end.
Selain
itu sistem seleksi desain yang diterapkan oleh Samsung adalah tes ‘Wow!’,
dimana desain yang diterima hanyalah desain yang mendapatkan reaksi ‘Wow!’
selama masa market testing. Hal ini memastikan bahwa hanya desain-desain yang
uni dan terbaiklah yang dipilih untuk diproduksi.
Strategi
berikutnya adalah perubahan channel distribusi produk. Samsung tidak lagi
memasarkan produknya di level low-end distributor seperti Walmart dan Kmart,
melainkan berpindah ke retailers sekelas Best Buy dan Circuit City.
2. Menurut
saya Samsung menerapkan campuran dari ketiga strategi tersebut. Samsung
menghasilkan produk-produk yang dibuat berdasarkan keinginan konsumen, terbukti
dengan keuntungan yang berhasil diraup oleh Samsung pada tahun 2009 yang
mencapai $8,3 Miliar yang dihasilkan akibat kepuasan pelanggan terhadap
produk-produk Samsung. Kemudian Samsung menerapkan team based product
development dengan merekrut desainer-desainer muda berbakat yang harus
menghasilkan ide-ide desain yang dapat melewati tes ‘Wow!’ pada masa market
testing. Di sisi lain Samsung mengembangkan produknya secara sistematis dengan
memperhatikan kebutuhan konsumen serta keinginan manajemen.
3. a.
PLC 1 : pada fase pengenalan produk tantangan yang dihadapi Samsung adalah
harus mampu memilih strategi peluncuran yang konsisten dengan strategi
positioning yang direncanakan oleh perusahaan. Sebab strategi peluncuran
merupakan langkah awal dari keseluruhan marketing plan sebuah produk. Fase ini
merupakan saat dimana Samsung memiliki kesempatan terbaik dalam memastikan
bahwa produk-produknya dapat diterima oleh masyarakat.
b.
PLC 2 : pada fase pertumbuhan ini tantangan yang dihadapi Samsung adalah adanya
kompetitor baru yang masuk akibat tertarik pada peluang profit. Sehingga
menyebabkan peningkatan jumlah outlet distribusi dan jumlah penjualan. Samsung
dapat meningkatkan atau mempertahankan pengeluarannya untuk promosi. Sehingga
Samsung tidak hanya harus terus mengedukasi pasar, tetapi juga harus bersiap
dalam menghadapi pesaing-pesaing baru.
c.
PLC 3: Pada fase maturity ini
pertumbuhan penjualan menurun sehingga menyebabkan ada banyak produsen dengan
banyak produk yang belum terjual. Sehingga pada tahap ini Samsung harus dapat
memodifikasi pasarnya yang bertujuan untuk mencari segmen pasar dan pembeli
potensial yang baru agar tingkat penjualan dapat kembali meningkat.
d.
PLC 4: Pada fase decline ini Samsung
harus dapat mengidentifikasi mana saja produk yang sudah ‘menua’ dengan secara
reguler mengamati jumlah penjualan, market shares, costs, dan tren. Sehingga
Samsung dapat menentukan produk mana yang bisa dipertahankan atau dihentikan
produksinya (discontinue). Apabila Samsung memutuskan untuk mempertahankan
produknya maka Samsung harus mampu memposisikan ulang produk tersebut sehingga
mampu kembali ke fase pertumbuhan.
Menggunakan strategi Mabuljungjae menurut saya Samsung memiliki peluang
untuk mendominasi pasar smartphone. Sebab
strategi tersebut mendorong Samsung untuk terus memperbaiki produknya dan terus
mengikuti perkembangan tren dan teknologi. Hal tersebut ditunjukkan dengan
investasi besar-besaran yang dilakukan Samsung pada capital expenditures,
peralatan baru, dan bahkan plant baru. Selain itu Samsung juga berinvestasi
pada departemen R&D. Menurut saya hal itu merupakan langkah yang tepat
karena Samsung mengerti bahwa untuk menguasai pasar barang-barang elektronik,
inovasi berkelanjutan merupakan aspek yang penting. Konsep interactivity yang
direncanakan oleh Samsung menurut saya juga sangat menjanjikan untuk masa
depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar