Rabu, 23 November 2016

Principle of Marketing: Company Case Chapter 4 - 6

COMPANY CASE: STARBUCKS (JUST WHO IS THE STARBUCKS CUSTOMER?)

1.      Starbuck’s initial market segmentation:
·         Wealthier, better educated, and more professional than the average American.
·         More likely female than male.
·         Predominately Caucasian
·         Ages: 24 – 44 years old
2.   Customer berubah terlebih dahulu. Hal ini disebabkan karena Starbucks menerapkan strategi yang kurang tepat sehingga menarik segmen pasar yang kurang tepat (less affluent, less educated, and less professional. Bagi segmen pasar ini perceive value Starbucks menjadi ‘good coffee on the run’ dimana aspek kecepatan pelayanan menjadi aspek yang dianggap lebih penting daripada aspek ‘homey / third place’ yang menjadi ciri khas Starbucks.
3.      Starbuck’s new market segmentation:
a.       Segmen 1 à Starbuck’s coffee
Kalangan professional yang menyukai konsep ‘third place’ yang diusung Starbucks
b.      Segmen 2 à Via Premium Instant Coffee (tersedia di Starbucks dan grocery store)
Orang-orang yang menginginkan kopi kualitas premium namun tidak memiliki akses untuk membeli di toko maupun menyeduh kopinya sendiri.
c.       Segmen 3 à Starbucks Natural Fusions (tersedia di grocery store)
Orang-orang yang suka menyeduh dan mengkreasikan sendiri kopi yang mereka konsumsi di rumah.
d.      Segmen 4 à Seattle’s Best Coffee (tersedia di vending machine, coffee carts, fast-food restaurant, convenience store, bioskop)
Orang-orang yang tidak biasanya berkunjung ke Starbucks yang berasal dari kalangan low-end.
4.      I think it will. Karena Starbucks telah melakukan strategi untuk mengembalikan image yang menjadi ciri khasnya (premium place to hangout) dan kembali menarik regular customernya yang kerap berkunjung dan menjadi sumber profit terbesar bagi perusahaan. Selain itu demi meningkatkan profit perusahaan, Starbucks meluncurkan tiga produk baru yang masing-masing ditujukan untuk segmen pasar yang berbeda. Sehingga dengan demikian Starbucks dapat terus meraih pendapatan dari profitable customernya sekaligus berkompetisi dengan perusahaan lain di segmen dan level yang berbeda.



COMPANY CASE: LAS VEGAS (WHAT’S NOT HAPPENING IN VEGAS)

1.     Menurut saya perubahan strategi branding yang diterapkan Las Vegas sempat mengalami perubahan image yakni ketika LVCVA memfokuskan strategi brandingnya untuk menjadi destinasi wisata yang ‘affordable’ dan ‘well-deserved’. Pada saat itu LVCVA merasa bahwa untuk menggaet pelanggan di tengah keterpurukan ekonomi Amerika ketika itu, LVSVA harus mampu membujuk pelanggannya untuk mau mengeluarkan pengeluaran lebih di tengah keterpurukan ekonomi.
2.      Core benefit: adult freedom
Actual product: fasilitas mewah, kasino berstandar internasional, acara hiburan yang menarik, hotel dan resorts bintang lima, fine dining, restoran ternama.
Augmented product: layanan extra hotel dan kasino, extra gifts atau bonus, layanan purna jual, dsb.
3.   Menurut saya apabila LVCVA mampu mempertahankan brand image mereka yaitu “what happens here, stay here” dengan pemilihan marketing mix yang sesuai maka Las Vegas dapat terus menarik wisatawan untuk datang ke kotanya. Sebab image itulah yang telah melekat di pikiran orang-orang terhadap Las Vegas.
4.  Rekomendasi saya adalah untuk LVCVA untuk tetap mempertahankan brand imagenya dengan penerapan variasi marketing mix yang disesuaikan dengan target pasar yang dituju. Selain itu apabila LVCVA ingin mengembangkan produk baru maka LVCVA dapat menerapkan produk baru yang dibuat khusus untuk target konsumen yang sama sekali baru sehingga memperluas segmen pasar yang dapat dijangkau oleh LVCVA. Selain itu saya rasa LVCVA harus mampu mengikuti perkembangan teknologi dan menggunakan perkembangan teknologi masa kini untuk kepentingan marketing, misal marketing melalui social media, memanfaatkan influencer, pembuatan website tourism yang menarik, dan sebagainya.


COMPANY CASE: SAMSUNG (FROM GALLOP TO RUN)

1.  Menggunakan strategi manajemen yang baru, yaitu dengan mengembangakan inovasi produk-produknya. Hal tersebut dilakukan dengan merekrut desainer-desainer baru yang berusia muda dan dilibatkan langsung dalam pembuatan desain produk yang sleek, bold, dan ditargetkan untuk kalangan high-end.
Selain itu sistem seleksi desain yang diterapkan oleh Samsung adalah tes ‘Wow!’, dimana desain yang diterima hanyalah desain yang mendapatkan reaksi ‘Wow!’ selama masa market testing. Hal ini memastikan bahwa hanya desain-desain yang uni dan terbaiklah yang dipilih untuk diproduksi.
Strategi berikutnya adalah perubahan channel distribusi produk. Samsung tidak lagi memasarkan produknya di level low-end distributor seperti Walmart dan Kmart, melainkan berpindah ke retailers sekelas Best Buy dan Circuit City.
2.    Menurut saya Samsung menerapkan campuran dari ketiga strategi tersebut. Samsung menghasilkan produk-produk yang dibuat berdasarkan keinginan konsumen, terbukti dengan keuntungan yang berhasil diraup oleh Samsung pada tahun 2009 yang mencapai $8,3 Miliar yang dihasilkan akibat kepuasan pelanggan terhadap produk-produk Samsung. Kemudian Samsung menerapkan team based product development dengan merekrut desainer-desainer muda berbakat yang harus menghasilkan ide-ide desain yang dapat melewati tes ‘Wow!’ pada masa market testing. Di sisi lain Samsung mengembangkan produknya secara sistematis dengan memperhatikan kebutuhan konsumen serta keinginan manajemen.
3.   a. PLC 1 : pada fase pengenalan produk tantangan yang dihadapi Samsung adalah harus mampu memilih strategi peluncuran yang konsisten dengan strategi positioning yang direncanakan oleh perusahaan. Sebab strategi peluncuran merupakan langkah awal dari keseluruhan marketing plan sebuah produk. Fase ini merupakan saat dimana Samsung memiliki kesempatan terbaik dalam memastikan bahwa produk-produknya dapat diterima oleh masyarakat.
b. PLC 2 : pada fase pertumbuhan ini tantangan yang dihadapi Samsung adalah adanya kompetitor baru yang masuk akibat tertarik pada peluang profit. Sehingga menyebabkan peningkatan jumlah outlet distribusi dan jumlah penjualan. Samsung dapat meningkatkan atau mempertahankan pengeluarannya untuk promosi. Sehingga Samsung tidak hanya harus terus mengedukasi pasar, tetapi juga harus bersiap dalam menghadapi pesaing-pesaing baru.
c. PLC 3: Pada fase maturity ini pertumbuhan penjualan menurun sehingga menyebabkan ada banyak produsen dengan banyak produk yang belum terjual. Sehingga pada tahap ini Samsung harus dapat memodifikasi pasarnya yang bertujuan untuk mencari segmen pasar dan pembeli potensial yang baru agar tingkat penjualan dapat kembali meningkat.
d. PLC 4: Pada fase decline ini Samsung harus dapat mengidentifikasi mana saja produk yang sudah ‘menua’ dengan secara reguler mengamati jumlah penjualan, market shares, costs, dan tren. Sehingga Samsung dapat menentukan produk mana yang bisa dipertahankan atau dihentikan produksinya (discontinue). Apabila Samsung memutuskan untuk mempertahankan produknya maka Samsung harus mampu memposisikan ulang produk tersebut sehingga mampu kembali ke fase pertumbuhan.
Menggunakan strategi Mabuljungjae menurut saya Samsung memiliki peluang untuk mendominasi pasar smartphone. Sebab strategi tersebut mendorong Samsung untuk terus memperbaiki produknya dan terus mengikuti perkembangan tren dan teknologi. Hal tersebut ditunjukkan dengan investasi besar-besaran yang dilakukan Samsung pada capital expenditures, peralatan baru, dan bahkan plant baru. Selain itu Samsung juga berinvestasi pada departemen R&D. Menurut saya hal itu merupakan langkah yang tepat karena Samsung mengerti bahwa untuk menguasai pasar barang-barang elektronik, inovasi berkelanjutan merupakan aspek yang penting. Konsep interactivity yang direncanakan oleh Samsung menurut saya juga sangat menjanjikan untuk masa depan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar